Jika tak salah menghitung, hari ini tepat 7 tahun
4 bulan dan 22 hari saya mengabdikan diri kepada pemerintah Republik yang
sama-sama kita junjung bersama kedaulatannya ini. Sebenarnya jika dihitung
dengan TMT (Terhitung Mulai Tanggal) SK, saat ini malah sudah lebih 4 bulan.
Betapa sangat tak terasa dan seperti tak dirasa perasaannya tentang apa
perasaan saya. Hmm, tak berasa sepertinya. Perjalanan 7 tahun hanya seperti
mengikuti arus saja. (Padahal saya ini tipenya suka menantang arus). Betapa
tidak, wong namanya juga abdi negara
pelayan masyarakat, apa-apa yang harus manut “Sang tuan dan nyonya.”
Apalagi jika mengingat “lemparan-lemparan” yang
saya alami selama tujuh tahun ini.
Desember 2004, ketika pengumuman ujian seleksi
penerimaan abdi negara saya ditugaskan di madrasah Tsanawiyah Negeri Jogorogo
yang jaraknya kira-kira 20Km lebih dari rumah. Tapi belum juga mulai tugas,
saya kedatangan seseorang (sesama calon abdi negara) yang memohon dengan
baik-baik agar saya dan beliau saling
bertukar tempat tugas. Dengan tanpa berat hati, saya terima aja. Dan ini
menjadi “lemparan” bagi saya yang pertama. Ya, Madrasah Tsanawiyah Negeri 2
Paron begitulah tempat terlemparku.
Agustus 2007, Ketika perjalanan terlemparku
menapaki masa 2 tahun 7 bulan. Bapak kepala sekolah saya (yang saaangat saya
kagumi karena kedisiplinannya) dilantik untuk menjabat jabatan baru sebagai
Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Paron. Cerita “terlempar” saya mencuat
lagi, Beliau “menarik” dan “melempar” saya agar tetap mengabdi pada beliau
hanya saja harus mengikuti di tempat kerja baru. “Mbak, jenengan saya minta
untuk mendampingi saya memperbaiki dan menata madrasah baru demi kemajuan dan pengembangannya
ke depan”, begitu yang beliau utarakan sebagai permintaannya kepada saya. (Eits,
ada alasan satu lagi-tapi yang ini rahasia lho. Jangan bilang2.- Beliau ingin
menjodohkan saya dengan keponakannya. Yang ternyata, saya benar-benar Berjodoh
dengan keponakannya-suami saya saat ini.) Meskipun lirih-lirih saya dengar
teman berujar, “Mbak, apa jenengan tega meninggalkan kami?”
Juli 2012, yang mana sesudah lima tahun lebih “lemparan”
saya belum berakhir.
“Mbak, saya betul-betul berharap jenengan bisa
disini dan mendampingi saya untuk menata ulang dan memperbaiki madrasah ini.
Jenengan sudah tahu bagaimana keadaan sekolah ini, jadi mohon dengan sangat
bersedialah untuk beberapa saat kedepan menata ulang sehingga bisa berjalan
sebagaimana mestinya. Permohonan ini bukan dari saya, tapi ini permintaan
teman-teman dimadrasah. Jadi, apapun yang terjadi bisa tidak bisa saya minta
jenengan per 1 Juli 2012 sudah harus bekerja disini.” Glekk, SK sudah
diterimakan. Apa boleh buat. Madrasah Tsanawiyah Negeri Ngawi menjadi tempat “terlempar”ku
selanjutnya.
Hari ini, 29 September 2012. Suami berbisik, “ya mesti to, Dik. Masa’ ora?” Inilah
jawaban ketika saya bertanya apa saya jadi mengajukan permohonan mutasi
mengikuti suami bulan ini juga. Sebagai pemberitahuan, saat ini suami sedang
mengabdi juga pada pemerintah ini di wilayah Pacitan. Sampai hari ini kami
sudah 3 tahun 2 bulan 3 minggu dan 3 hari menapaki lintasan rumah tangga, dan
selama itu pula kami belum pernah tinggal dalam satu atap. Ya, mestinya saya
harus “terlempar” lagi. Artinya, mutasi lagi.
Meski tampak pada lukisan raut wajah teman2 saya
ketidakrelaan dan pengharapan, “mbak, disini dulu to. Ok, jika ga bisa 1 tahun
paling ga 1 semester aja. ya!”
Ya Allah, saya tinggal menunggu saja kapan saya
akan benar-benar menerima SK “keterlemparan” ini lagi. Allah mudahkanlah urusan
kami, dan jangan persulit kami.