Dipilih-dipilih

Assalamu’alaikum,

SELAMAT DATANG, di Toko On Line Hatoy Ponorogo. Kami menyediakan beberapa kebutuhan Sandang ASLI PRODUK DALAM NEGERI dengan HARGA MURAH – Lebih Awet daripada Uangnya – dan tentunya dengan KUALITAS. Silakan tengak-tengok di menu GALERI PRODUK.

Kami menjual karena Kepercayaan dan Komitmen bersama anda Membangun Negeri.

Silakan hubungi kami :

SMS / WhatsApp : 0857 3592 5311

PIN BB : 747A0B44

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, saya hanya menggunakan rekening BRI, Bank Jatim, dan MANDIRI. Untuk info No Rekening Silakan SMS di nomor : 085 735 925 311

Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Senin, 06 Februari 2012

Diperlukan Gerakan Menghidupkan Kembali Jiwa Pendidikan

Kebetulan ketika sedang di kantor, saya kedatangan seorang guru. Tamu ini menjadi guru sudah puluhan tahun, sudah ke sekian kali berpindah-pindah tugas, dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Pengalaman menjadi guru sudah kenyang. Dalam perbincanan itu, saya menanyakan tentang pendidikan saat ini. Ia mengatakan bahwa pendidikan masih berjalan, tetapi jiwa pendidikan dan lebih sempitnya jiwa guru sudah mulai melemah.


Lebih jauh ia menjelaskan bahwa kesadaran menjadi guru sudah berkurang. Orang menjadi guru kurang bangga, dan mungkin karena tak terlalu dihormati oleh masyarakat, termasuk oleh wali muridnya sendiri. Kini, katanya terjadi budaya ambiguitas terhadap pendidikan. Orang tua, pada satu sisi terlalu mencintai anak, dan oleh karena itu juga (mestinya) mencintai pendidikan. Tetapi, pada sisi yang lain belum mampu mendudukkan guru pada posisi yang seharusnya. Tamu saya bilang bahwa, mungkin ini terkena pengaruh materialisme. Seseorang dihargai bukan atas dasar profesi, tetapi lebih banyak didasarkan atas kekayaan yang telah berhasil dikumpulkan. Seorang yang bermobil mewah akan memperoleh sambutan dibandingkan dengan seseorang yang datang dengan mengendarai sepeda pancal atau sepeda motor butut. Padahal pengendara mobil bisa jadi seorang kuruptor, sedang pengendara sepeda adalah seorang guru. Orang saat ini tak melihat status, apakah sebagai guru ataukah sebagai pejabat, bahkan yang korup sekalipun. Yang lebih dilihat adakah seberapa banyak kekayaan yang telah berhasil dikumpulkan oleh sese orang. Maka dari itu, bisa jadi koruptor lebih dimuliakan dari pada guru yang jujur.


Guru tua tadi menyebut telah terjadi perubahan besar, dari idealisme ke matirialisme. Budaya ini menjadi kekuatan pembusuk dunia pendidikan dan kemudian masih diperparah oleh budaya �potong kompas�. Pembangunan pada masa orde baru, dan juga masih dilanjutkan pada orde reformasi ini, dilakukan dengan pendekatan proyek. Pendekatan proyek lebih mengedepankan capaian-capaian formal daripada capaian-capaian yang bersifat substantif. Untuk memenuhi kebutuhan guru ditempuh dengan cara crass program. Beberapa lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, diberi tugas menyiapkan tenaga kependidikan. Namun yang diutamakan, bukan kualitas guru melainkan jumlah yang dibutuhkan dan yang harus terpenuhi. Untuk memenuhi jumlah itu maka seringkali aspek kualitas tak terlalu dilihat, apalagi diperhatikan. Itulah yang oleh sang guru senior tadi disebut �potong kompas�.


Program pengembangan pendidikan dengan pendekatan proyek ini dilakukan secara massal pada semua tingkatan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tingi. Hasilnya menggembirakan. Secara statistik target-target terpenuhi. Kebutuhan guru atau dosen pada masing-masing lembaga pendidikan tercukupi. Partisipasi pendidikan terlihat tinggi dan memenuhi target. Angka-angka penyelenggaraan pendidikan dijadikan laporan, dan angka-angka itulah yang menjadi indikator keberhasilan pendidikan itu. Akan tetapi, diakui atau tidak, api pendidikan ternyata tidak menyala. Guru mengajar di klas, dan demikian juga dosen datang ke kampus dan memberi kuliah. Akan tetapi kehadiran guru dan dosen tersebut tak melahirkan kehangatan yang mengakibatkan jiwa para siswa dan mahasiswa tumbuh dan berkembang secara baik.


Sebagai bukti bahwa masih lemahnya sektor pendidikan ini,-------- jika mau jujur, bisa dilihat betapa banyak produk pendidikan yang belum setara dengan hasil yang disandang. Bahkan seorang pejabat yang berkompeten di bidang pendidikan, pernah menyatakan keheranannya. Ternyata banyak lulusan S3 masih harus dicarikan tempat. Maka tidak heran jika lulusan S2 apalagi S1 masih lebih kebingunangan lagi. Semua itu terjadi, memang banyak penyebabnya, tetapi salah satunya dapat diduga, adalah oleh karena api atau jiwa pendidikan semakin melemah. Sebaliknya yang terjadi adalah birokratisasi pendidikan yang semakin kaku dan formalistik. Oleh karena itu yang diperlukan ke depan adalah bagaimana menumbuhkan jiwa pendidikan di berbagai level dan aspeknya. Wallahu a�lam.
 
Penulis : Prof. Dr. H. Imam Suprayogo

Menjadi Guru Dengan Gaji 40 Dinar Sebulan, Siapa Mau…?

Oleh Muhaimin Iqbal   
Jum'at, 03 February 2012 11:16
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman yang sangat berharga dari salah satu peserta rutin Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin. Kiriman tersebut adalah berupa buku tua (terbit pertama kali 1963 !) - dengan judul Sejarah Pendidikan Islam yang ditulis oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus (almarhum – Ex Rektor IAIN Imam Bonjol – Padang). Yang menarik adalah dari waktu ke waktu, umat ini mengalami pasang surutnya. Umat ini berjaya manakala iman dan ilmu dikuasai, para guru dan pendidik dihargai.

Penghargaan ini tentunya tidak harus berarti uang, tetapi pemberian gaji yang baik kepada mereka dapat menjadi salah satu indikator seberapa baik masyarakat menghargai para guru ini.

Di salah satu jaman kejayaan Islam yang dikenal dengan generasinya Shalahuddin al Ayyubi gaji guru di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah berkisar antara 11 Dinar sampai dengan 40 Dinar sebulan !. (Cek Harga Dinar) Inilah jaman ketika Islam menjadi guru dunia, bahkan guru di bidang engineering dan teknologi seperti yang ter-representasi-kan oleh Al-Jazari dengan kitabnya - Kitáb fí ma'rifat al-hiyal al-handasiyya (Buku Pengetahuan Tentang Alat-alat Mekanik yang Cerdas) - yang bahkan untuk jaman modern ini sekalipun tergolong sebagai buku yang canggih.

Saya tahu tidak semua guru mengharapkan balasan materi seperti ini, tetapi masyarakatlah (terwakili oleh wakil-wakil dan pemimpinnya – dan kita semua) yang harus memperhatikan kesejahteraan mereka. Agar mereka bisa fokus pada tugasnya, dan agar suatu bangsa bisa memperoleh orang-orang terbaiknya untuk menjadi guru bagi anak-anak mereka.

Lantas apakah sekarang wajar seandainya kita sekarang meng-appresiasi para guru dengan gaji bulanan antara 11 Dinar sampai 40 Dinar sebulan-nya (saat tulisan ini berarti sekitar Rp 25 juta – Rp 90 juta sebulan !)   di jaman ini ?.

Saya melihat kewajarannya gaji guru di range tersebut. Mengapa ?, Itu kurang lebih range gaji para manager dan eksekutif perusahaan menengah di Indonesia saat ini. Jadi wajar bukan kalau kita bisa meng-appresiasi guru-guru yang professional setara dengan para manager dan eksekutif professional tersebut  ?. Bahkan para professor di perguruan tinggi, dan guru-guru impor di sekolah-sekolah internasional yang mulai marak di negeri ini sudah melampaui range tersebut.

Saya juga melihat adanya potensi kemampuan masyarakat dan negara untuk meng-appresiasi para guru ini seperti pada masa Shalahuddin tersebut di atas. Yang diperlukan adalah perubahan orientasi layanan, mana yang lebih dipentingkan. Bayangkan dengan perbandingan-perbandingan berikut :

·       Kepala cabang bank menengah yang melayani Anda dalam transaksi finansial, mereka sudah berada di range gaji 11 Dinar – 40 Dinar  sebulan tersebut. Masak yang mengurusi transaksi yang lebih penting – yaitu transaksi Ilmu – untuk anak-anak kita, yang akan menjadi bekalnya seumur hidup tidak mendapatkan apresiasi yang minimal sama ?.
·       Manajer-manajer perusahaan telekomunikasi, perdagangan, industry dan jasa lainnya juga sudah menikmati range gaji yang layak tersebut. Mengapa tidak untuk para  guru anak-anak mereka ?.
·       Wakil-wakil kita di dewan, digaji secara layak untuk pekerjaan dan produk yang sering tidak jelas – mengapa tidak untuk para guru yang pekerjaan dan produknya jelas – yaitu menyiapkan generasi unggulan kedepan – yang akan menentukan maju tidaknya bangsa ini kedepan ?.
·       Dlsb.dlsb.

Meng-apresiasi secara baik untuk para guru tidak berarti harus menjadi beban yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Yang diperlukan hanyalah menggeser fokus, bila selama ini pemerintah dan masyarakat lebih suka membelanjakan anggarannya untuk produk dan jasa yang dapat dilihat atau dinikmati segera – menjadi focus untuk menyiapkan generasi-generasi yang unggul untuk masa kini dan  masa yang akan datang.

Bayangkan pula dampaknya bila apresiasi terhadap para guru ini bisa diberikan secara semestinya. Potensi-potensi terbaik bangsa ini bisa bertahan menjadi guru, tidak hanya kepincut dengan pekerjaan lainnya seperti kerja di bank, menjadi manajer industry, menjadi anggota dewan dlsb.

Bila masyarakat berhasil menarik orang-orang terbaik dibidangnya untuk menjadi guru, maka disitulah generasi unggulan ini akan lahir. Guru-guru dari kalangan yang terbaik dibidangnya ini selain berbekal ilmu yang cukup, mereka juga akan kreatif , inovatif dan produktif dalam mengembangkan bahan ajar-nya. Hasilnya akan sepertu spiral yang berputar keluar, guru bermutu – materi ajar bermutu – produk anak didik berkwalitas tinggi – generasi unggul – semakin tinggi apresiasinya ke ilmu dan tentu juga guru dst.

Sebaliknya bila guru tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari masyarakat, yang terjadi adalah seperti spiral yang berputar kedalam. Guru tidak diapresiasi semestinya – guru tidak fokus – materi ajar kurang bermutu – prestasi anak didik menurun – kwalitas generasi rendah – apresiasi terhadap guru lebih rendah lagi dst.

Spiral yang berputar kedalam ini antara lain yang kita hadapi sekarang. Produk anak didik dan generasi yang jauh dari sifat keunggulannya, indikasinya antara lain adalah umat yang mayoritas ini diperdaya oleh umat lain yang minoritas dalam bidang ekonomi, politik dan masyalah-masyalah kemasyarakatan lainnya.

Indikasi lemahnya generasi juga bisa kita lihat dari produk anak didik yang telah terjun ke masyarakat : bila menjadi pejabat atau birokrat dia korupsi, bila berpolitik mereka dusta, bila menjadi pedagang mereka curang, bila menjadi hakim mereka tidak berbuat adil, bila menjadi pegawai mereka kurang produktif, bila menjadi pengusaha mereka mengeksploitasi pekerja untuk kepentingan sendiri dan bila menjadi penguasa mereka sewenang-wenang.

Maka situasi seperti ayam dan telur – mana yang harus didahulukan tersebut – harus kita break dan diurutkan lagi dari awal. Kalau saya memilih break ke titik awal tersebut adalah mulai dari para guru. Hidup bapak- ibu Guru !.

MELEPAS PENAT SEJENAK, YUUUK!!!!