Oleh : Muhaimin Iqbal
Suatu
pagi seekor bebek berjalan berdampingan dengan seekor kambing di pasar
desa. Melihat ada tumpukan telur bebek yang dijual oleh seorang
pedagang, sang bebek berkata ringan ‘wek wek wek, wek wek wek…’ yang artinya kurang lebih ‘itulah karyaku, itulah karyaku…’.
Sambil terus berjalan keduanya kemudian melihat ada pedagang lain yang
sedang menggantung karkas kambing yang baru dipotongnya. Dengan suaranya
yang berat dan bergetar, sang kambing berkata ‘mbek, mbeek, mbeeek…’, yang artinya kurang lebih ‘itulah pengorbananku, pengorbanan keluargaku, pengorbanan bangsaku…’.
Bagi
seekor bebek menghasilkan telur adalah pekerjaannya sehari-hari, dia
melakukan rutinitas bertelur ini dengan ringan – tanpa beban dan tanpa
perlu komitmen yang besar. Situasinya sangat berbeda bagi kambing,
menghasilkan daging adalah suatu perwujudan pengorbanan dan komitmen yang luar biasa. Kambing hanya bisa menghasilkan daging dengan mengorbankan dirinya !.
Dalam
bekerja ataupun berusaha, kita juga mengalami suatu kondisi yang
seperti telur bebek dan daging kambing tersebut. Ada yang melaksanakan
pekerjaannya hanya sekedar rutinitas harian, pagi pergi ke kantor
melaksanakan apa yang harus dilaksanakannya sesuai job description
yang dia miliki – kemudian sore hari pulang. Begitu seterusnya hari
demi hari dilalui sebagai rutinitas, ringan, tanpa beban dan tanpa
komitmen pengorbanan yang besar.
Tetapi ada pula orang-orang yang bekerja atau berusaha di segala bidang dengan total commitment,
dia memperjuangkan nilai atau sesuatu yang lebih dari sekedar bekerja
untuk mendapatkan penghasilan, bahkan dia rela untuk mengorbankan
dirinya untuk ini.
Di
segala bidang pekerjaan, selalu ada orang yang masuk kategori pertama
maupun kategori kedua. Bahkan di kelompok pengusaha atau yang ingin
disebut dirinya pengusaha-pun ada yang seperti bebek tersebut, sekedar
melaksanakan rutinitas – tanpa komitmen apalagi pengorbanan.
Saya
mengenal ada seorang dokter kandungan yang luar biasa, dia bekerja
siang malam tidak mengenal lelah. Dia selalu siap dipanggil jam
berapapun – bila pasiennya membutuhkannya, dan bahkan rela meninggalkan
liburan bersama keluarganya untuk menolong pasiennya yang akan
melahirkan. Baginya bekerja lebih dari sekedar mencari nafkah, dia tidak
mengenal lelah untuk bekerja karena setiap saat berangkat menolong
kelahiran jam berapapun (24/7/365) – dia niatkan saat itu dia sedang
berusaha sekuat tenaga untuk bisa membantu menyelamatkan dua nyawa
sekaligus, nyawa si bayi dan nyawa si ibunya sendiri.
Kita
juga mengenal sangat banyak melalui media, bahwa di tengah tanggung
jawab besar untuk menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan keterpurukan,
wakil-wakil terhormat kita malah malas bersidang. Kalau toh mereka
hadir sidang, mereka asyik bercengkerama satu sama lain, browsing internet, chatting,
baca koran, tidur dan bahkan ada yang tertangkap basah sedang nonton
video porno. Mereka punya tanggung jawab besar, tetapi disikapinya tanpa
komitmen apalagi pengorbanan – bagi mereka pekerjaan itu adalah
rutinitas semata, berangkat kantor, menunggu (membuang ) waktu,
menikmati fasilitas dan tanpa beban. Tentu tidak semuanya demikian,
tetapi citra demikian mudah kita peroleh dari berbagai media dan berita.
Yang bisa kita ambil pelajaran adalah bahwa baik yang bekerja sekedar melaksanakan rutinitas maupun yang bekerja dengan full commitment
dan pengorbanan, waktu yang tersedia itu sesungguhnya sama. Hanya saja
yang bekerja melaksanakan rutinitas semata akan merasa waktu itu
panjang, maka dia berusaha membuang waktu dengan membaca koran, chatting dan sejenisnya.
Sebaliknya yang bekerja dengan full commitment
seperti dokter kandungan yang saya ceritakan di atas, waktu terasa
tidak pernah cukup baginya. Dia hanya sempat membaca pesan-pesan penting
dari hp-nya, jangankan chatting atau browsing yang nggak perlu – baca koran-pun dia jarang sempat.
Hanya
diri kita sendiri yang tahu, termasuk pekerja yang mana kita ini. Kita
semua mempunyai waktu yang sama, tergantung kita untuk memanfaatkannya.
Apakah akan kita buat rutin dan longgar sehingga waktu terasa lama dan
membosankan. Atau kita isi dengan penuh komitmen dan pengorbanan
sehingga waktu terasa padat dan bahkan terasa tidak pernah cukup.
Lebih
dari itu semua, Di mata Allah niat yang akan membedakannya sebagaimana
hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut : “Pada suatu hari, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sedang berjalan bersama dengan para sahahat, tiba-tiha mereka
menyaksikan seorang pemuda yang nampak gagah perkasa sedang bekerja
keras membelah kayu bakar. Dan beberapa sahahat pun berkomentar:
“Celakalah pemuda itu. Mengapa keperkasaannya itu tidak digunakan untuk
Sabilillah (jalan Allah)?” Lantas, Rasulullah SAW bersabda “Janganlah
kalian berkata demikian. Sesungguhnya bila ia bekerja untuk
menghindarkan diri dari meminta-minta (mengemis), maka ia berarti dalam
Sabilillah. Dan jika ia bekerja untuk mencari nafkah serta mencukupi
kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah, maka iapun dalam
Sabilillah. Namun jika ia bekerja hanya untuk bermegah-megahan serta
hanya untuk memperkaya dirinya, maka ia dalam Sabilisy syaithan (jalan
setan)””.
Mudah-mudahan
ini bisa menyemangati kita dalam bekerja, sekaligus meluruskan niat –
agar pekerjaan ini bisa masuk kedalam kategori Fi Sabilillah. Insyaallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar